Sabtu, 02 April 2011

ASKEP DM dengan Pola Pengkajian GORDON+NANDA NOC dan NIC

A. Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang disebabkan kebiasaan hidup dan gaya hidup yang berubah.
Diabetes adalah gaangguan kronis dari perubahan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang ditandai terjadinya hiperglikemi dan glkosuria.
B. Etiologi
DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas.
Keadaan yang menyebabkan hiperglikemia,
- Kerusakan genetik dari sel beta
- Kerusakan genetik dari aksi insulin
- Penyakit dari pankreas endokrin : pankreasitis, trauma, neoplasma.
- Mengkonsumsi obat – obatan ilmiah
- Infeksi
- Faktor keturunan,
C. Klasifikasi Diabetes Melitus
ada 2 macam type DM :
1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin (IDDM)
Penyebab : akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insuli. (NIDDM)
Penyebab : insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obersitas atau ada sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
D. Patofisiologi/Pathway



E. Tanda dan gejala
o Meningkatnya pengeluaran urine (Poliuri).
o Timbulnya rasa haus yang berlebihan (haus-haus) (Polidipsi).
o Rasa lapar yang semakin besar (Polipagia).
o Mengeluh lelah dan mengantuk.
o Penglihatan kabur.
o Kesemutan pada jari tangan dan kaki.
o Mudah infeksi pada luka
Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Pada DM tipe I mengalami ketoasidosis diabetes , keadaan disregulasi metabolik yang ditandai dengan napas bau aseton, pernapasan cepat dan dalam (kussmaul), mual , muntah dan nyeri perut, kelelahan.( American Diabetes Association )

F. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.
Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan.
J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).
Diet pada penderitae diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a. Diet A : Terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %,
lemak 30 %, protein 20 %.
b. Diet B : Terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c. Diet B1 : Terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d. Diet B 2 dan B 3 : Diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal
ginjal.
Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.

Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
a. Kurang tahan lapan dengan dietnya.
b. Mempunyai hyperkolestonemia.
c. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
d. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
e. Telah menderita diabetes dari 15 tahun
Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a. Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b. Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %.
c. Masih muda perlu pertumbuhan.
d. Mengalami patah tulang.
e. Hamil dan menyusui.
f. Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g. Menderita tuberkulosis paru.
h. Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i. Menderita selulitis.
j. Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.
Indikasi B2 dan B3
Diet B2
Diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
1. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
2. Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
3. Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari. Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.
Diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
1. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
2. Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
3. Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
4. Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
5. Dipilih lemak yang tidak jenuh.

F. Komplikasi
a) Akut
1.) Hypoglikemia
2.) Ketoasidosis
3.) Diabetik
b) Kronik
1.) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2.) Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik, nefropati diabetic.
3.) Neuropati diabetic.

G. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
- Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
- Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
- Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.





BAB III
Asuhan Keperawatan Teoritis


A. Pengkajian Gordon
- Riwayat kesehatan sekarang :
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung, Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
- Riwayat kesehatan lalu
Biasanya klien DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti Infart miokard
- Riwayat kesehatan keluarga :
Biasanya Ada riwayat anggota keluarga yang menderita DM

1. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari akan terjadinya resiko Kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya amputasi (Debra Clair, journal februari 2011)
2. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita. Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
3. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
4. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
5. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka , sehingga klien mengalami kesulitan tidur.
6. Kognitif persepsi
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunan, gangguan penglihatan .
7. Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
8. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.
9. Seksualitas
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria. risiko lebih tinggi terkena kanker prostat berhubungan dengan nefropati.(Chin-Hsiao Tseng on journal, Maret 2011)
10. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
11. Nilai keprercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita



B. Pemeriksaan Diagnostik
• Gula darah meningkat biasanya > 200 mg/dl
• Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
• Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt • Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik) • Alkalosis respiratorik • Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan respon terhadap stress/infeksi. • Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal. • Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut.
• Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai meningkat pada tipe II yang mengindikasikan insufisiensi insulin.
• Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
• Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat.
• Kultur : kemungkinan infeksi pada luka.

C. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa :
1. Gangguan integritas kulit
2. Intoleransi aktivitas
3. Resiko Injury
4. Resiko gangguan nutrisi
5. Kekurangan volume cairan
NOC :
Diagnosa 1(Gangguan Integritas Kulit )
Definisi : kerusakan jaringan epidermis dan dermis
Data pendukung :
- Kerusakan lapisan kulit
- Gangguan permukaan kulit
- Invasi struktur tubuh
Outcome
Kontrol resiko proses infeksi
Definisi : tindakan individu dalam mencegah, mengurangi dan menurunkan ancaman infeksi.

Kriteria :
1. Mengidentifikasi tanda dan gejala yang mengindikasikan terjadinya infeksi. (Dalam rentang nilai 1 – 5)
2. Memonitor kebiasaan individu yang terkait faktor resiko infeksi
3. Strategi pengawasan infeksi yang efektif dapat dilakukan
4. Mengetahui akibat jika terjadi infeksi
5. Resiko infeksi dalam situasi sehari – hari teridentifikasi

NIC :
1. Identifikasi faktor ekternal dan internal yang membuat pasien termotivasi untuk menjaga kesehatan nya
2. Ajarkan klien cara yang dapat digunakan untuk menghindari kebiasaan yang tidak sehat
3. Monitor bagian kerusakan terhadap adanya edema
4. Instruksikan klien pentingnya inspeksi daerah luka
5. Batasi pengunjung
6. Diskusikan pad pasien untuk rutinitas perawatan kaki
7. Tempatkan klien diruang khusus jika perlu
8. Perhatikan peningkatan aktivitas dan latihan
9. Perhatikan istirahat klien
10. Ajarkan klien dan keluarga bagaimana menghindari infeksi
11. Informasikan kepada keluarga tanda dan gejala infeksi
12. Instruksikan klien untuk memakan antibiotik yg telah ditentukan
13. Lakukan tindakan asepsis

Diagnosa 2 ( Intoleransi aktivitas )
Definisi : ketidak mampuan beraktivitas
Data – dat pendukung :
- Tekanan darah yang tidak normal ketika beraktivitas
- Immobility
- Melaporkan adanya kelemahan
- Melaporkan adanya kelelahan
NOC :
Outcome : perawatan diri : ADL
Kriteria:
1. Kebersihan mulut
2. Makan
3. Pakaian
4. Tempat tidur
5. Posisi tubuh
6. Berjalan
NIC :
1. Mempertimbangkan kebudayaan klien ketika melakukan perwatan
2. Mempertimbangkan usia klien
3. Monitor kemampuan klien untuk perawatn diri mandiri
4. Monitor kebutuhan klien terhadap kebersihan diri, pakaian,dan makan
5. Beri dukungan hingga klien mampu melakukan aktivitas sendiri
6. Dorong pasien untuk menunjukkan aktivitas keseharian yg normal
7. Kaji kebutuhan yang memerlukan bantuan
8. Bina aktivitas keseharian klien sehari hari

Diagnosa 3 (Resiko Injury )
Definisi : resiko injury sebagai kondisi linngkungan dengan individu
Data – data pendukung
- Biologi seperti mikrooeganisme
- Kimiawi seperti obat – obatan
- Penurunan fungsi biokimiawi
- Pshysikal seperti lingkungan
- Penurunan fungsi integrasi
Outcome : tingkat glukosa darah
Kriteria :
1. Keton urin
2. Glukosa urin
NIC :
1. Monitor glukosa darah
2. Monitor keton urin sebagai indikasi
3. Monitor status cairan
4. Bantu pemasukan intake cairan
5. Identifikasi kemungkinan penyebab hyperglikemia
6. Instruksiakn pemeriksaaan keton urin, jika diperlukan
7. Antisipasi situasi peningkatan kebutuhan insulin
8. Kaji pasien terhadap tingkat kenaikan glukosa darah
9. Membatasi aktivitas klien ketika glukosa darah >250 mg/dl, terutama ketika ditemukan keton urin
DAFTAR PUSTAKA


Nathan DM, Cleary PA, Backlund JY, et al. (December 2005)."Intensive diabetes treatment and cardiovascular disease in patients with type 1 diabetes". The New England Journal of Medicine 353 (25): 2643 53. doi:10.1056/NEJMoa052187.PMC 2637991. PMID 16371630.

Black, J. M. Matassarin, E. 1997, Medical surgical nursing, clinical management for continuity of care. Philadelphia: Lippincott.

Smeltzer, S. C, Bare, B. G. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing. 9th ed. Philadelphia: Lippincott

Guthrie, Diana W. Guthrie ,Richard A. 2002. Management of Diabetes Mellitus, A guide to the pattern approach. 6th ed. New York : Springer Publishing

Selasa, 30 November 2010

VEKTOR PENYAKIT MENULAR

VEKTOR PENYAKIT MENULAR


Vektor merupakan binatang pembawa Penyakit yang disebabkan oleh bakteri, ricketsia, virus, protozoa dan cacing, serta menjadi perantara penularan penyakit tersebut. Pencemaran karena vektor adalah terjadinya penularan penyakit melalui binatang yang dapat jadi perantara penularan penyakit tertentu akibat kondisi pencemaran vektor penyakit, antara lain:
1. Perubahan lingkungan fisik seperti pertambangan, industri dan pembangunan perumahan yang mengakibarkan berkembang biaknya vektor penyakit
2. Sistim penyediaan air bersih dengan perpipaan yang belum menjangkau seluruh penduduk sehingga masih diperlukan container untuk penyediaan air.
3. Sistem drainase permukiman dan perkotaan yang tidak memenuhi syarat sehingga menjadi tempat perindukan vektor
4. Sistem pengelolaan sampah yang belum memenuhi syarat menjadikan sampah menjadi sarang vektor
5. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dalam pengendalian vektor penyakit secara kimia beresiko timbulnya keracunan dan pencemaran lingkungan serta resistensi vektor
Beberapa jenis serangga merupakan vektor utama atau vektor penting dari penyakit-penyakit tropis di Indonesia. Nyamuk Anopheles merupakan vektor utama penyakit malaria, Aedes Aegypti adalah vektor utama penyakit demam berdarah, cikungunya dan demam kuning.
Selain menyimpulkan bahwa serangga sebagai Vektor Penyakit Tropis di Indonesia, dan menurut regulasi kesehatan internasional dari WHO dan dikenal juga sebagai (Emerging Infectious Disease) dan pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1910. Sementara, untuk penyakit Pes di Sulut sendiri belum pernah ditemukan (Anonim, 2003).
Vektor penyakit kini telah semakin sulit diberantas. Hal ini dikarenakan vektor penyakit tersebut telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidup mereka pun semakin tinggi. Hal ini disimpulkan dari hasil penelitian para ahli di Institut Pertanian Bogor (IPB) Jakarta. Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan kesimpulan bahwa binatang pembawa agen penyakit, terutama nyamuk dan lalat, telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidup mereka pun semakin tinggi.
Menurut Projo Danoedoro (2003) Penyakit menular merupakan Penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami, wilayah gunung api biasanya miskin yodium. Daerah berbatuan kapur juga menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di pedalaman Kalimantan Timur, penulis pernah menjumpai air permukaan dengan kandungan logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan industri di sekitarnya.
Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar lokasi industri.
Inderaja dan GIS dapat membantu mendefinisikan zona-zona dalam bentuk satuan pemetaan, memodelkan pola dan arah gerakan atau aliran pencemar. Dari sana kemudian dapat ditentukan wilayah-wilayah yang berisiko tercemar, dengan memperhatikan pola permukiman, kepadatan penduduk, pola aktivitas, dan pemanfaatan air tanahnya.
Dengan memahami kompleksitas fenomena penyakit dalam ruang, sebenarnya perencanaan wilayah merupakan tugas yang sangat rumit. Pilihan dalam perencanaan penggunaan lahan pertanian, misalnya, bukan lagi dalam konteks produktivitas pangan, erosi, banjir, dan kesejahteraan ekonomi petani. Di situ ada konsekuensi-konsekuensi kesehatan ketika pola tanam diubah karena menyangkut kontinuitas siklus hidup inang dan vektor pembawa penyakit. Upaya konservasi biodiversitas, seperti yang terjadi di Jerman, pun kadang-kadang tidak mudah dipertemukan dengan upaya eradikasi penyakit menular.
Perencanaan bidang kesehatan pun terbantu oleh inderaja dan SIG. Suplai obat tertentu lebih bisa difokuskan pada wilayah-wilayah dengan angka insidensi penyakit tertentu yang juga tinggi. Dengan demikian, kemubaziran suplai obat dan keterlambatan penanganan suatu kejadian luar biasa karena kurangnya obat bisa dihindari. Penentuan lokasi puskesmas dan pusat pelayanan kesehatan lain seyogianya tidak hanya bertumpu pada pusat-pusat kecamatan, melainkan juga akses penduduk ke lokasi yang direncanakan.
Penyakit menular lain yang menjadi perhatian dalam pembangunan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia adalah: tetanus neonatorum, campak, infeksi saluran pernapasan akut, diare, kusta, rabies, dan filariasis (Depkes 2004), (Bappenas 2005).
Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada yang lain ditentukan oleh 3 faktor, yakni :
a. Agen (penyebab penyakit)
b. Host (induk semang)
c. Route of transmission (jalannya penularan

Agar supaya agen (vektor) atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup (survive) maka perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a. Berkembang biak
b. Bergerak atau berpindah dari induk semang
c. Mencapai induk semang baru
d. Menginfeksi induk semang baru tersebut.
Kemampuan agen (vektor) penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah suatu faktor penting didalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri sehingga ia dapat tetap hidup. Dari sini timbul istilah reservoar yang diartikan sebagai berikut 1) habitat dimana bibit penyakit tersebut hidup dan berkembang 2) survival dimana bibit penyakit tersebut sangat tergantung pada habitat sehingga ia dapat tetap hidup. Reservoar tersebut dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.
Upaya penanggulangan wabah meliputi:
1. penyelidikan epidemiologis, yaitu melakukan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat menimbulkan wabah,
2. pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina,
3. pencegahan dan pengebalan yaitu tindakan yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang belum sakit tetapi mempunyai risiko terkena penyakit,
4. pemusnahan penyebab penyakit, yaitu bibit penyakit yang dapat berupa bakteri, virus dan lain-lain,
5. penanganan jenazah akibat wabah,
6. penyuluhan kepada masyarakat
VEKTOR-VEKTOR BIOLOIS DAN PENYAKIT YANG DITIMBULKAN
A. Nyamuk
Penyakit yang dibawa oleh vektor nyamuk antara lain:
1. Malaria
Anopheles (nyamuk malaria) merupakan salah satu genus nyamuk. Terdapat 400 spesies nyamuk Anopheles, namun hanya 30-40 menyebarkan malaria (contoh, merupakan “vektor”) secara alami. Anopheles gambiae adalah paling terkenal akibat peranannya sebagai penyebar parasit malaria (contoh. Plasmodium falciparum) dalam kawasan endemik di Afrika, sedangkan Anopheles sundaicus adalah penyebar malaria di Asia.
Penyakit malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh Plasmodium sp dengan gejala demam, anemia dan spleomagali.
Empat jenis plasmodium yaitu:
• Plasmodium vivaxpenyakit malaria tertina
• Plasmodium malariae-malaria kuartana
• Plasmodium Facifarummalaria tropika
• Plasmodium ovalemalariaovale
Upaya pencegahan antara lain , menghindari gigitan nyamuk, pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber penular dan pembrantasan nyamuk dan larva.
Sebagian nyamuk mampu menyebarkan penyakit protozoa seperti malaria, penyakit filaria seperti kaki gajah, dan penyakit bawaan virus seperti demam kuning, demam berdarah dengue, encephalitis, dan virus Nil Barat. Virus Nil Barat disebarkan secara tidak sengaja ke Amerika Serikat pada tahun 1999 dan pada tahun 2003 telah merebak ke seluruh negara bagian di Amerika Serikat.
2. Demam Berdarah
Nyamuk Aedes aegypti adalah vector penyakit demam berdarah (DBD) yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang cukup meresahkan karena tingkat kematian akibat penyakit ini cukup tinggi. Sampai saat ini, penyakit ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap penyakit DBD terutama pada musim penghujan. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953. Sedangkan penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue dengan tipe DEN 1 s/d 4. Virus tersebut termasuk dalam grup B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe DEN 1 & 3.
Gejala-gejala DBD sendiri adalah antara lain, Demam tinggi (38-40 C) yang berlangsung 2 sampai 7 hari sakit kepala rasa sakit yang sangat besar pada otot & persendian bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah pendarahan pada hidung & gusi mudah timbul memar pada kulit shock yang ditandai oleh rasa sakit pada perut, mual, muntah, jatuhnya tekanan darah, pucat, rasa dingin yang tinggi terkadang disertai pendarahan dalam tubuh.
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti / Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil & Ethiopia & sering menggigit manusia pada waktu pagi & siang.
Orang yang berisiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, & sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, & muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk vektor penularnya sudah tersebar luas di seluruh Indonesia. Sehingga tidaklah aneh apabila kita sering kali melihat pemberitaaan di media massa tentang adanya berita berjangkitnya penyakit DBD di berbagai wilayah Indonesia hampir di sepanjang waktu dalam satu tahun.

3. Elephantiasis (Kaki Gajah)
Wucheria sp. adalah Golongan nematoda yang dapat menyebabkan penyakit elephantiasis dengan gejala peradangan dan penyumbatan saluran getah bening serta disertai dengan demam. Vektor berupa nyamuk jenis culex fatigans, aedes aegypty dan anopheles sp. Upaya pendegahan dengan menghindari gigitan, pemberantasan nyamuk dan pengobatan penderita.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
Upik Kusumawati, peneliti Parasitologi dan Entimologi Kesehatan IPB menyatakan bahwa Nyamuk pembawa virus demam berdarah kini tidak cuma senang bertelur di genangan air bersih, tapi juga selokan yang kotor. Berdasarkan kajian eksperimental yang dilakukan di laboratorium IPB, Upik Kusumawati menjelaskan, didapati bahwa nyamuk Aides Aegepty bisa tetap bertelur di habitat buatan yang terpolusi dengan detergen dan kaporit.
Hal ini teruji dengan percobaan denan wahana air yang kondisinya mirip dengan limbah air di lapangan seperti air selokan. Dan ternyata nyamuk Aides juga mau bertelur di tempat seperti itu.
Pemahaman umum tentang demam berdarah sebelumnya adalah nyamuk membawa agen penyakit yakni Aides Aegepty hanya bertelur di air tergenang yang bersih seperti tempat penampungan air bersih di rumah-rumah, Namun sepertinya vektor penyakit sudah beradaptasi, sehingga mereka kini bisa hidup di lingkungan yang terpolusi.

B. Lalat
Lalat adalah Vektor Mekanis dan Biologi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Bidang Ilmu Penyakit Hewan, Universitas Gadjah Mada, Prof R Wasito MSc menjelaskan bahwa lalat memang vektor (pembawa) virus flu burung. Bahkan, ujarnya, lalat ada kemungkinan berfungsi sebagai vektor mekanis dan vektor biologi dari virus Avian influenza (AI) ini. Vektor mekanis, maksudnya lalat bisa membawa virus AI ke mana-mana sedangkan vektor biologi maksudnya virus ini bisa masuk ke tubuh lalat dan berkembang di tubuh lalat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa di lokasi yang pernah terkena wabah flu burung yaitu di daerah Makassar dan Karanganyar ditemukan virus AI pada lalat yang diteliti. Di dalam lalat tersebut dilakukan pemeriksaan lipoprotein dan antigen untuk mengetahui tipe dan subtipenya ternyata, ditemukan H5N1 dan cukup banyak pada lalat tersebut.
Pengambilan sampel lalat, jelasnya, dilakukan di tiga wilayah yaitu Makassar, Karananyar, dan Tuban. Tetapi, di Tuban hasilnya negatif. Penelitian bermula dari keheranan Wasito ketika masih menjadi Dirjen Bina Produksi Deptan.
Menurutnya pada tahun 2003 dan 2004 di Makassar tidak ada kasus flu burung, tetapi pada Maret tahun 2005, tiba-tiba ada wabah flu burung yang mematikan ayam-ayam di Makassar. Padahal, lanjutnya, lalu lintas peternakan sudah ketat. ”Pemikiran saya kemungkinan karena adanya burung yang terkena flu burung yang bermigrasi dari negara tetangga atau dari provinsi lain,” paparnya.
Kemudian, Guru Besar FKH UGM, Prof Hastari dan ahli Virologi Amerika Prof, Roger K Maes mengatakan kemungkinan ada vektor lain yang menyebarkan flu burung, tutur ahli Patologi ini. Akhirnya mereka bertiga mencari kantong-kantong lalat di Makassar, Karanganyar, dan Tuban pada bulan Maret-Mei 2005.
Ternyata, cukup banyak lalat yang mengandung virus Avian Influenza di enam lokasi di daerah Makassar dan Karanganyar. Setelah itu, kami mengajukan proporsal ke Departemen Pertanian dan Alhamdulillah disetujui. Sehingga, sampai sekarang kami masih mengumpulkan lalat-lalat dari hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
Dari enam lokasi tadi, diambil sampel lalat sebanyak 100 mg (sekitar lima sampai enam ekor lalat) dari setipa lokasi. Lalu, diambil darahnya dan dibawa ke laboratorium FKH UGM (Siswono, 2005).
Jenis penyakit dengan lalat sebagai vektor antara lain:
1. Estamoeba dysenteriae
Entamorba hestolyca adalah Organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, kucing, anjing dan babi. Vektornya adalah musca domestica (lalat rumah) dan kecoa. Penularan terjadi karena makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kista yang dibawa oleh vektor.
Gejala yang dapat ditmbulkan antara lain; sering buang air besar, fesesnya sedikit-sedikit dengan lendir dan darah, dan biasanya disertai rasa sakit diperut (kram perut), dan biasanya tidak demam.
Upaya pencegahannya dengan perbaikan sanitasi lingkungan, dan pencegahan kontaminasi makanan, pembasmian vektor serta perbaikan cara pembuangan kotoran yang baik serta cuci tangan setelah defakasi.
2. Penyakit kala-azhar
penyakit kala-azhar adalah penyakit yang disebabkan oleh Golongan protozoa yaitu laishmania donovani. Vektornya adalah lalat penghisap darah pheblotomus sp. Gejalanya antara lain; deman tinggi, menggigil, muntah-muntah. Terjadi pengurusan badan dan hepar bengkak. Bila tidak diobati menyebabkan kematian. dan upaya pencegahannya adalah dengan pencegahan penderita, menghilangkan sampah yang busuk (tempat perkembang biakan lalat), dan menghindari gigitan.
3. Penyakit leishmaniasis
Penyakit leishmaniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Golongan protozoa yaitu laishmania tropica. Vektornya adalah lalat penghisap darah pheblotomuss. Gejalanya adalah terjadinya kupula ditempat gigitan, kulit tertutupi kerak dan keluarnya exudate yang lengket serta terjadinya kerusakan jaringan. Upaya pencegahan dengan penutupan kulit dan pemberantasan serangga.


4. Penyakit mucocutaneus
penyakit mucocutaneus merupakan penyakit yang disebabkan oleh golongan protozoa yaitu laishmania braziliensis. Vektornya adalah lalat penghisap darah pheblotomus sp. Gejalanya adalah terjadinya papula berwarna merah pada tempat gigitan dan terjadinya perubahan bentuk pada permukaan yang digigit.
5. Sleeping sickness (penyakit tidur)
Sleeping sickness merupakan penyakit yang disebabkan oleh golongan protozoa trypanosoma gambiense. Vektornya adalah lalat glossina sp. Gejala meliputi tiga fase, yaitu fase (1) dimana Trypanosoma gambiense berada dalam tubuh, fase (2) dimana berada dalam jaringan dan fase (3) berada dalam susunan syaraf.
Fase (1) dengan gejala rasa gatal pada tempat gigitan dan diikuti demam, sakit kepal, menggil dan kehilangan nafsu makan. Fase (2) dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening, liver, sakit kepala, sakit sendi-sendi, lamah dan ruam dikulit. Fase (3) dengan gejala lemah, malas, tubuh kaku dan tidur dengan tidak terkendali.
6. Penyakit onchocerca volvulus
Penyakit ini disebabakan oleh Cacing onchocerca volvulus. vektornya adalah lalat penghisap darah (simulum sp). Penyakit yang ditimbulkan adalah radang pada tempat gigitan dan diikuti dengan adanya tonjolan. Perkembangan nodula sangat lambat dan dalam waktu 3-4 tahun hanya mencapai ukuran 2-3 cm. Bila infeksi tonjolan mengenai mata menyebabkan kebutaan. Upaya pendegahan dengan menghindari gigitan, pemberantasan nyamuk dan pengobatan penderita.
7. Calabar (calabar swelling).
penyakit calabar (calabar swelling). Merupakan penyakit yang sebabkan oleh cacing loa-loa. Vektor cacing ini adalah lalat tabanid genus chrysops.
Gelaja penyakit ini adalah pembengkakan jaringan adan terjadi benjolan sebesar telur ayam. Upaya pendegahan dengan menghindari gigitan, pemberantasan serangga dan pengobatan penderita.

C. Burung/Angsa
Burung merupakan hawan kelas aves yang memiliki potensi sebagai vekor penyakit, hal ini disebabkan burung memiliki kemampuan untuk berimigrasi dari suatu tempat ke tempat lain. Sehingga kemungkinan burung membawa bibit penyakit yang dapat berupa virus (virus flu burung) ataupun bakteri. Mengingat, burung-burung tersebut biasanya tersebar di pantai laut Pulau Jawa dan daerah lain yang banyak persediaan makanan burung.

1. Flu Asiatik
Flu Asiatik, 1889–1890. Dilaporkan pertama kali pada bulan Mei 1889 di Bukhara, Rusia. Pada bulan Oktober, wabah tersebut merebak sampai Tomsk dan daerah Kaukasus. Wabah ini dengan cepat menyebar ke barat dan menyerang Amerika Utara pada bulan Desember 1889, Amerika Selatan pada Februari–April 1890, India pada Februari–Maret 1890, dan Australia pada Maret–April 1890. Wabah ini diduga disebabkan oleh virus flu tipe H2N8 dan mempunyai laju serangan dan laju mortalitas yang sangat tinggi.
2. Flu Spanyol
Flu Spanyol, 1918–1919. Pertama kali diidentifikasi awal Maret 1918 di basis pelatihan militer AS di Fort Riley, Kansas, pada bulan Oktober 1918 wabah ini sudah menyebar menjadi pandemi di semua benua. Wabah ini sangat mematikan dan sangat cepat menyebar (pada bulan Mei 1918 di Spanyol, delapan juta orang terinfeksi wabah ini), berhenti hampir secepat mulainya, dan baru benar-benar berakhir dalam waktu 18 bulan. Dalam enam bulan, 25 juta orang tewas; diperkirakan bahwa jumlah total korban jiwa di seluruh dunia sebanyak dua kali angka tersebut. Diperkirakan 17 juta jiwa tewas di India, 500.000 di Amerika Serikat dan 200.000 di Inggris. Virus penyebab wabah tersebut baru-baru ini diselidiki di Centers for Disease Control and Prevention, AS, dengan meneliti jenazah yang terawetkan di lapisan es (permafrost) Alaska. Virus tersebut diidentifikasikan sebagai tipe H1N1.
3. Flu Hongkong
Flu Hong Kong, 1968–1969. Virus tipe H3N2 yang menyebabkan wabah ini dideteksi pertama kali di Hongkong pada awal 1968. Perkiraan jumlah korban adalah antara 750.000 dan dua juta jiwa di seluruh dunia.
4. Flu burung (Flu Asia)
Flu Asia, 1957–1958. Wabah ini pertama kali diidentifikasi di Tiongkok pada awal Februari 1957, kemudian menyebar ke seluruh dunia pada tahun yang sama. Wabah tersebut merupakan flu burung yang disebabkan oleh virus flu tipe H2N2 dan memakan korban sebanyak satu sampai empat juta orang.
Pada Februari 2004, virus flu burung dideteksi pada babi di Vietnam, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan munculnya galur virus baru. Yang ditakutkan adalah bahwa jika virus flu burung bergabung dengan virus flu manusia (yang terdapat pada babi maupun manusia), subtipe virus baru yang terbentuk akan sangat menular dan mematikan pada manusia. Subtipe virus semacam itu dapat menyebabkan wabah global influensa yang serupa dengan flu Spanyol ataupun pandemi lebih kecil seperti flu Hong Kong.
Pada bulan Oktober 2005, kasus flu burung (dari galur mematikan H5N1) ditemukan di Turki setelah memakan sejumlah korban jiwa di berbagai negara (termasuk Indonesia) sejak pertama kali diidentifikasi pada tahun 2003. Namun demikian, pada akhir Oktober 2005 hanya 67 orang meninggal akibat H5N1; hal ini tidak serupa dengan pandemi-pandemi influensa yang pernah terjadi.
5. Psitacosis
Walaupun belum ada laporan tentang kasus penyakit Psittacosis yang diderita oleh manusia tetapi penyakit yang disebarkan oleh burung paruh bengkok (nuri dan kakatua) ini dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Penularannya bisa lewat kotoran burung yang kemudian terhirup oleh manusia.
Gejala klinik yang ditimbulkan antara lain adalah gangguan pernafasan mulai dari sesak nafas sampai peradangan pada saluran pernafasan, diare, tremor serta kelemahan pada anggota gerak. Kondisi akan semakin parah bila penderita dalam kondisi stress dan makanan yang kekurangan gizi.
D. Mamalia piaraan
Hewan yang banyak digemari dan dipelihara oleh banyak orang ternyata dapat menularkan penyakit melalui gigitan, cakaran, sehingga perlu diwaspadai bagi pamelihara memelihara satwa, karena barangkali satwa itu terinveksi penyakit (vector penyakit) dan berisiko melakukan penularan pada manusia. Jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh satwa antara lain:
1. Hepatitis
Satwa primata (bangsa kera dan monyet) dapat menularkan penyakit hepatitis melalui gigitan atau cakaran. Hati-hati memelihara primata, karena barangkali primata itu terinveksi hepatitis dan sekali dia menggigit anda maka anda berisiko tertular hepatitis.
Di seluruh dunia diperkirakan 2 milyar manusia telah terinfeksi penyakit hepatitis. Dua juta orang meninggal tiap tahunnya atau tiap menitnya ada 4 orang meninggal akibat kasus penyakit tersebut. Kecepatan penularan penyakit hepatitis 4 kali lebih cepat dari penyakit HIV. Penularan penularan penyakit hepatitis ini melalui aliran darah, plasenta bayi bagi ibu yang mengandung serta cairan tubuh seperti sperma, vagina, dan air liur.
Orang yang terkena hepatitis, hatinya akan rusak. Perutnya tampak membesar, muntah, diare dan kulit berwarna kekuningan. Fungsi hati yang menyaring racun telah hancur oleh virus ini, akibatnya kematian mengancam penderita hepatitis.
2. Tuberculosa (TBC)
Satwa yang punya potensi besar menularkan penyakit TBC ke manusia adalah primata, misalnya orangutan, owa dan siamang. TBC adalah penyakit yang menyebabkan kematian terbesar kedua di Indonesia. Gejala yang ditimbulkan antara lain gangguan pernafasan seperti sesak nafas, batuk sampai berdarah, badan tampak kurus kering dan lemah. Penularan penyakit ini sangat cepat karena ditularkan melalui saluran pernafasan.
Selain manusia satwapun dapat terinfeksi dan menularkan penyakit TBC melalui kotorannya. Jika kotoran satwa yang terinveksi itu terhirup oleh manusia maka membuka peluang manusia akan terinveksi juga penyakit TBC. Penyakit Tuberculosis bersifat menahun atau berjalan kronis, sehingga gejala klinisnya baru muncul jika sudah parah.
3. Rabies
Penyakit mematikan yang disebabkan oleh virus ini dikenal juga sebagai penyakit anjing gila. Penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat ini dapat ditularkan ke manusia lewat gigitan satwa. Kasus gigitan hewan penyebar rabies adalah anjing (90%), kucing (3%), kera (3%) dan satwa lain (1%).
Gejala yang ditimbulkan bila terinfeksi rabies pertama-tama adalah tingkah laku yang abnormal dan sangat sensitif (mudah marah), kelumpuhan dan kekejangan pada anggota gerak. Penderita akan mati karena kesulitan untuk bernafas dan menelan dalam kurun waktu 2-10 hari.
4. Herpes
Adanya pelepuhan kulit di seluruh tubuh merupakan gejala awal yang ditimbulkan bila terinfeksi virus herpes. Virus ini bisa berakibat kematian bagi bangsa primata. Manusia dapat tertular dari gigitan atau cakaran satwa yang mengandung virus tersebut. Penderita penyakit ini akan mengalami dehidrasi akibat pelepuhan kulit dan akhirnya kematian akan menjemputnya. Hati-hati jika memelihara primata seperti monyet, lutung, owa, siamang, orangutan, dan lain-lain.
5. Toxoplasmosis
Penyakit ini ditakuti oleh kaum wanita karena menyebabkan kemandulan atau selalu keguguran bila mengandung. Bayi yang lahir dengan kondisi cacatpun juga dapat di sebabkan oleh penyakit ini. Penyakit Toxoplasmosis disebarkan oleh satwa bangsa kucing, misalnya kucing hutan, harimau atau juga kucing rumahan.
Penularan kepada manusia melalui empat cara yaitu: secara tidak sengaja menelan makanan atau minuman yang telah tercemar Toxoplasama, memakan makanan yang berasal dari daging yang mengandung parasit Toxopalsma dan tidak dimasak secara sempurna/setengah matang. Penularan lain adalah infeksi penyakit yang ditularkan melalui placenta bayi dalam kandungan bagi ibu yang mengandung. Cara penularan terakhir adalah melalui transfusi darah.
6. Salmonellosis
Satwa yang bisa menularkan penyakit salmonella ini antara lain primata, iguana, ular, dan burung. Bakteri Salmonella masuk ke tubuh penderita melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan bila terinfeksi bakteri Salmonella adalah peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya dinding usus. Akibatnya penderita akan mengalami diare, sari makanan yang masuk dalam tubuh tidak dapat terserap dengan baik sehingga penderita akan tampak lemah dan kurus. Racun yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella menyebabkan kerusakan otak, organ reproduksi wanita bahkan yang sedang hamilpun dapat mengalami keguguran.

VEKTOR-VEKTOR NON BIOLOIS DAN PENYAKIT YANG DITIMBULKAN
a. PES
Plague of Justinian (“wabah Justinian”), dimulai tahun 541, merupakan wabah pes bubonik yang pertama tercatat dalam sejarah. Wabah ini dimulai di Mesir dan merebak sampai Konstantinopel pada musim semi tahun berikutnya, serta (menurut catatan Procopius dari Bizantium) pada puncaknya menewaskan 10.000 orang setiap hari dan mungkin 40 persen dari penduduk kota tersebut. Wabah tersebut terus berlanjut dan memakan korban sampai seperempat populasi manusia di Mediterania timur.
The Black Death, dimulai tahun 1300-an. Delapan abad setelah wabah terakhir, pes bubonik merebak kembali di Eropa. Setelah mulai berjangkit di Asia, wabah tersebut mencapai Mediterania dan Eropa barat pada tahun 1348 (mungkin oleh para pedagang Italia yang mengungsi dari perang di Crimea), dan menewaskan dua puluh juta orang Eropa dalam waktu enam tahun, yaitu seperempat dari seluruh populasi atau bahkan sampai separuh populasi di daerah perkotaan yang paling parah dijangkiti.
b. Kolera
pandemi pertama, 1816–1826. Pada mulanya wabah ini terbatas pada daerah anak benua India, dimulai di Bengal, dan menyebar ke luar India pada tahun 1820. Penyebarannya sampai ke Tiongkok dan Laut Kaspia sebelum akhirnya berkurang. Pandemi kedua (1829–1851) mencapai Eropa, London pada tahun 1832, Ontario Kanada dan New York pada tahun yang sama, dan pesisir Pasifik Amerika Utara pada tahun 1834. Pandemi ketiga (1852–1860) terutama menyerang Rusia, memakan korban lebih dari sejuta jiwa. Pandemi keempat (1863–1875) menyebar terutama di Eropa dan Afrika. Pandemi keenam (1899–1923) sedikit mempengaruhi Eropa karena kemajuan kesehatan masyarakat, namun Rusia kembali terserang secara parah. Pandemi ketujuh dimulai di Indonesia pada tahun 1961, disebut “kolera El Tor” (atau “Eltor”) sesuai dengan nama galur bakteri penyebabnya, dan mencapai Bangladesh pada tahun 1963, India pada tahun 1964, dan Uni Soviet pada tahun 1966.
c. HIV
HIV—virus penyebab AIDS—dapat dianggap sebagai suatu pandemi, namun saat ini paling meluas di Afrika bagian selatan dan timur. Virus tersebut ditemukan terbatas pada sebagian kecil populasi pada negara-negara lain, dan menyebar dengan lambat di negara-negara tersebut. Pandemi yang dikhawatirkan dapat benar-benar berbahaya adalah pandemi yang mirip dengan HIV, yaitu penyakit yang terus-menerus berevolusi.
d. SARS]
wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) melanda dunia, dan penyebarannya relatif cepat. Ketika upaya penangkalan dan pengobatannya secara medis masih berlangsung, penyakit ini terus berkembang seiring dengan migrasi manusia antarnegara. Penyakit menular semacam ini tidak mengenal batas teritori administratif.
wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) melanda dunia, dan penyebarannya relatif cepat. Ketika upaya penangkalan dan pengobatannya secara medis masih berlangsung, penyakit ini terus berkembang seiring dengan migrasi manusia antarnegara. Penyakit menular semacam ini tidak mengenal batas teritori administratif.
sebenarnya bukan hanya SARS saja yang fenomena penyebarannya menarik perhatian kalangan yang bergelut dengan informasi keruangan (geoinformasi). Hampir semua gejala epidemiologis dalam lingkup regional telah menarik perhatian para ahli geografi dan perencana wilayah sehingga kerja sama dengan para ahli kesehatan diperlukan dalam pengembangan wilayah dan pembangunan kesehatan masyarakat.
Pada tahun 2003, terdapat kekhawatiran bahwa SARS, suatu bentuk baru pneumonia yang sangat menular, dapat menjadi suatu pandemi.
Selain itu, terdapat catatan pandemi influensa tiap 20–40 tahun dengan tingkat keparahan berbeda-beda

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS


Otitis media supuratif kronik ( OMSK ) ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membrane timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media supuratisf kronis selian merusak jaringan lunak pada telinga tengah dapat juga merusak tulang dikarenakan terbentuknya jaringan patologik sehingga sedikit sekali / tidak pernah terjadi resolusi spontan.
Otitis media supuratif kronis terbagi antara benigna dan maligna, maligna karena terbentuknya kolesteatom yaitu epitel skuamosa yang bersifat osteolitik.
Penyakit OMSK ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap dan morbiditas penyakit telinga tengah kronis ini dapat berganda, gangguan pertama berhubungan dengan infeksi telinga tengah yang terus menerus ( hilang timbul ) dan gangguan kedua adalah kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan kerusakan mekanisme hantaran suara dan kerusakan konka karena toksisitas atau perluasan infeksi langsung.


ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab terbesar otitis media supuratif kronis adalah infeksi campuran bakteri dari meatus auditoris eksternal , kadang berasal dari nasofaring melalui tuba eustachius saat infeksi saluran nafas atas. Organisme-organisme dari meatus auditoris eksternal termasuk staphylococcus, pseudomonas aeruginosa, B.proteus, B.coli dan aspergillus. Organisme dari nasofaring diantaranya streptococcus viridans ( streptococcus A hemolitikus, streptococcus B hemolitikus dan pneumococcus.
Suatu teori patogenesis mengatakan terjadinya otititis media nekrotikans akut menjadi awal penyebab OMSK yang merupakan hasil invasi mukoperiusteum organisme yang virulen, terutama berasalh dari nasofaring terbesa pada masa kanak-kanak, atau karena rendahnya daya tahan tubuh penderita sehingga terjadinya nekrosis jaringan akibat toxin nekrotik yang dikeluarkan oleh bakteri kemudian terjadi perforasi pada membrane timpani setelah penyakit akut berlalu membrane timpani tetap berlubang atau sembuh dengan membrane atrofi.
Pada saat ini kemungkinan besar proses primer untuk terjadinya OMSK adalah tuba eustachius, telinga tengah dan sel-sel mastoid. Faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis sangat majemuk, antara lain :
1. gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis akibat :
a. infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang
b. obstruksi anatomic tuba eustachius parsial atau total

2. perforasi membrane timpani yang menetap
3. terjadinya metaplasia skuamosa / perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah
4. obstruksi terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid
5. terdapat daerah dengan skuester atau otitis persisten ddi mastoid
6. faktor konstitusi dasar seperti alergi kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

PATOLOGI
Omsk lebih merupakan penyakit kekambuhan daripada menetap, keadaan ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi, ketidakseragaman ini disebabkan oleh proses peradangan yang menetap atau kekambuhan disertai dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut secara umum gambaran yang ditemukan :
1. Terdapat perforasi membrane timpani dibagian sentral, ukuran bervariasi dari 20 % luas membrane timpani sampai seluruh membrane dan terkena dibagian-bagian dari annulus.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang akan nampak normal kecuali infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel transisonal.
3. Jaringan tulang2 pendengaran dapat rusak/ tidak tergantung pada berat infeksi sebelumnya
4. Mastoiditis pada OMSK paling sering berawal pada masa kanak-kanak , penumatisasi mastoid paling aktif antara umur 5 -14 tahun. Proses ini saling terhenti oleh otitis media yang sering. Bila infeksi kronis terus berlanjut mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan penumatisasi terbatas hanya ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.

TANDA DAN GEJALA
OMS TIPE BENIGNA
Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk , ketika pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan pembersihan dan penggunaan antibiotiklokal biasanya cepat menghilang, discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.
Gangguan pendengaran konduktif selalu didapat pada pasien dengan derajat ketulian tergantung beratnya kerusakan tulang2 pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal penyakit.
Perforasi membrane timpani sentral sering berbentuk seperti ginjal tapi selalu meninggalkan sisa pada bagian tepinya . Proses peradangan pada daerah timpani terbatas pada mukosa sehingga membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi membrane mukosa dapt tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip didapat tapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus menghalangi pandangan membrane timpani dan telinga tengah sampai polip tersebut diangkat . Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium tuba eustachius yang mukoid da setelah satu atau dua kali pengobatan local abu busuk berkurang. Cairan mukus yang tidak terlalu bau datang dari perforasi besar tipe sentral dengan membrane mukosa yang berbentuk garis pada rongga timpani merupakan diagnosa khas pada omsk tipe benigna.

OMSK TIPE MALIGNA DENGAN KOLESTEATOM
Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan berwarna kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keeping-keping kecil, berwarna putih mengkilat.
Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya kolesteatom bersamaan juga karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media nekrotikans akut. Selain tipe konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada tulang-tulang kanal semisirkularis akibat osteolitik kolesteatom.

PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konstervatif atau dengan medika mentosa. Bila sekret yang keular terus-menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2o2 3 % selama 3 – 5 hari. Setelah sekret berkurang terapi dilanjutkan dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotic dan kortikosteroid, kultur dan tes resisten penting untuk perencanaan terapi karena dapat terjadi strain-strain baru seperti pseudomonas atau puocyaneous.
Infeksi pada kolesteatom sukar diobati sebab kadar antibiotic dalam kantung yang terinfeksi tidak bias tinggi. Pengangkatan krusta yang menyumbat drainage sagaat membantu. Granulasi pada mukosa dapat diobati dengan larutan AgNo3 encer ( 5 -100 %) kemudian dilanjutkan dengan pengolesan gentian violet 2 %. Untuk mengeringkan sebagai bakterisid juga berguna untuk otitis eksterna dengan otorhea kronik.
Cara terbaik mengangkat polip atau masa granulasi yang besar, menggunakan cunam pengait dengan permukaan yang kasar diolesi AgNo3 25-50 % beberapa kali, selang 1 -2 minggu. BIla idak dapat diatasi , perlu dilakukan pembedahan untuk mencapai jaringan patologik yang irreversible. Konsep dasar pembedahan adalah eradikasi penyakit yang irreversible dan drainase adekwat, rekontruksi dan operasi konservasi yang memungkinkan rehabilitasi pendengaran sempurna pada penyakit telinga kronis.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
OMSK tipe benigna :
Omsk tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan komplikasi, tetapi jika tidak mencegah invasi organisme baru dari nasofaring dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut eksaserbsi akut dapat menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler.
Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi sentral yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani disarankan.

OMSK tipe maligna :
Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa :
1. erosi canalis semisirkularis
2. erosi canalis tulang
3. erosi tegmen timpani dan abses ekstradural
4. erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal
5. erosi pada sinus sigmoid

Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK type maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.


DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar N, sopeardi EA, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok, edisi ketiga FKUI Jakarta 1997
2. Adam GL, Boies LC, Hilger PA. Bois Fundamentals of otolaryngology. A textbook of Ear, Nose and Throat Disease. 6 th edition WB Saunders Co, 1989.
3. P.D. Bull : Disease of the Ear, Nose and throat, edisi 6, Blackwell science ; 1995
4. www. Klinikumsolingen : chronic suppurative otitits media

Manfaat Kacang Hijau

Kacang Hijau Sembuhkan Berbagai Penyakit

JANGAN anggap sepele kacang hijau. Ya, kacang berukuran kecil di antara jenis kacang-kacangan ini ternyata memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Selama ini yang kita tahu, kacang hijau adalah makanan bergizi yang sedap dimakan setelah dijadikan bubur kacang hijau atau kue-kue.
Kandungan gizi yang terdapat dalam kacang hijau, antara lain; dalam 110 gram kacang hijau mengandung 345 kalori, 22,2 gram protein, 1,2 gram lemak, vitamin A, B1, 1,157 IU, mineral berupa fosfor, zat besi, dan mg. Nah, selain kandungan gizi/vitamin, kacang hijau ternyata bisa menyembuhkan penyakit beri-beri, radang ginjal, melancarkan pencernaan, tekanan darah tinggi, mengatasi keracunan alkohol, pestisida, timah hitam, mengatasi gatal karena biang keringat, muntaber, menguatkan fungsi limpa dan lambung, impotensi, TBC paru-paru, jerawat, mengatasi flek hitam di wajah, dll.
Kacang hijau juga bisa menurunkan demam, bahkan menurut hasil penelitian, kacang hijau adalah penurun demam yang terbaik bila dibandingkan dengan penurun demam dari ramuan tradisional lainnya. Hebatnya lagi, biar direbus lama, sampai hancur, kacang hijau tetap berkhasiat, tidak terpengaruh dengan panas. Berbeda dengan kacang, sayur, buah, dan bahan ramuan tradisional lainnya yang bila direbus terlalu lama, akan menurunkan khasiat pengobatannya. Di kala obat-obatan sedang mahal harganya, apa salahnya mencoba resep tradisional dari kacang hijau ini. Inilah beberapa resep di antaranya.

1. Peluruh kencing
Rebus 30 gram kacang hijau dengan 30 gram daun sendok dalam air 400 cc. Ramuan dimasak dalam periuk tanah sampai matang. Sesudah dingin, tambahkan madu secukupnya. Minum ramuan ini secara teratur sampai kencing tidak tersendat-sendat lagi.

2. Sakit perut
Banyak resep tradisional untuk mengatasi sakit perut, mulai dari daun jambu biji yang sudah terbukti ampuh dan ramuan lainnya. Sekali ini coba resep dari kacang hijau. Rebus 60 gram kacang hijau tambahkan 15 biji merica, 3 gram kayu manis, 3 gram pala, 3 gram kapulaga, 3 gram cengkih, dan 2 ruas jahe. Semua bahan direbus dengan air 1 liter. Panaskan terus sampai menjadi larutan sebanyak 1/2 liter, lalu minum teratur.

3. Biang keringat anak-anak
Anak-anak yang terkena biang keringat sering rewel, wajar karena merasa gatal. Coba resep kacang hijau ini. Rebus 60 gram kacang hijau yang sudah dijadikan bubuk dulu, lalu tambahkan 50 gram tanaman krokot, rebus dengan air secukupnya. Setelah matang, saring, lalu minumkan 3 kali sehari.
4. Bisul
Aduh, jengkelnya bila terserang bisul. Apalagi bila bisul itu bercokol di bagian bokong, mau duduk saja sulitnya bukan main. Banyak obat untuk bisul yang umumnya untuk pengobatan luar alias dioleskan pada tubuh yang ditumbuhi bisul. Nah, resep ini untuk pengobatan bisul dari dalam. Rebus 50 gram kacang merah kecil dengan 50 gram kacang hijau, 50 gram kacang hitam dan 2 ruas jahe. Semua bahan, kecuali jahe, direbus. Jahe direbus tersendiri dan hasil rebusan jahe dicampurkan ke rebusan kacang-kacangan tadi. Lalu minum teratur. Namun, ramuan ini hanya untuk bisul yang belum matang. Kalau bisul sudah matang, harus ditambahkan lagi madu.

5. Menguatkan seksualitas pria
Banyak sekali resep tradisional ditulis untuk mengatasi penyakit yang mengakibatkan pria tidak perkasa, mulai dari berbagai jamu sampai obat yang diimpor dengan harga — tentu saja — mahal. Bagaimana kalau mencoba resep kacang hijau plus ini? Rebus 30 gram kacang hijau bersama-sama 2 ruas jahe, 15 gram merica, 15 gram adas, 15 gram pulosari, 15 gram biji kucai, 15 gram biji paria, dan 15 gram biji ketumbar. Semua bahan direbus dengan air 600 cc dan jadikan 300 cc, minum teratur sampai terbukti khasiatnya.

6. Rambut rontok
Rambut Anda sedikit demi sedkit rontok? Coba resep ini. Kacang hijau direbus dengan 1 gelas air. Perhatikan saat merebus jangan sampai kacangnya pecah. Jadi setelah tampak agak matang, tetapi tidak pecah, segera angkat. Setelah dingin, air rebusan kacang hijau ini digunakan untuk membasahi kulit kepala sembari dipijit-pijit beberapa lama. Biarkan kering, baru keramas.

7. Mag
Ramuan untuk mengatasi penyakit mag lumayan banyak. Setiap penderita merasa cocok dengan salah satu resep. Yang ini resep mengatasi penyakit mag dengan kacang hijau. Sekira 1/4 kg kacang hijau dijemur sampai kering lalu tumbuk sampai halus. Setelah itu ambil 1 sendok makan bubuk kacang hijau, lalu seduh dengan air hangat secukupnya, minum teratur.

8. Varises
Varises adalah tonjolan-tonjolan di bagian kaki. Kemunculan varises memang mengganggu keindahan kaki. Coba resep ini, 1 genggam kacang hijau direbus dengan 2 gelas air. Biarkan sampai airnya susut sebanyak 1 gelas. Minum rebusan ini 2 kali sehari, pagi dan menjelang tidur. Selain itu, saat akan tidur, angkat kaki dan tempatkan di tempat yang lebih tinggi dari kepala, diamkan selama 10 menit, lakukan dengan rajin sembari minum rebusan kacang hijau.

9. Bayi demam
Berikan 1 gelas air rebusan kacang hijau ditambah 1 sendok makan madu untuk bayi yang terserang demam. Berikan rebusan ini sesendok demi sesendok. Bagi Anda yang hanya ingin mengonsumsi kacang hijau dengan cara dijadikan bubur, coba lakukan tips sederhana ini. Semua ibu rumah tangga sudah paham betul bahwa menggodok kacang hijau itu tidak sebentar, perlu makan waktu sampai kacang lunak betul. Bagaimana caranya supaya kacang cepat lunak? Rebus kacang sampai mendidih, lalu angkat. Diamkan beberapa lama sampai agak dingin. Setelah itu rebus kembali untuk kedua kalinya. Nah, hasilnya kacang hijau cepat lunak. Jadi mengirit waktu dan BBM.

Selasa, 23 November 2010

Tanaman Obat

5 Tanaman Obat Untuk Atasi Demam Berdarah

Beragam tanaman obat dapat digunakan untuk mengatasi penyakit demam berdarah, baik berupa simplisia, serbuk, maupun sirup. Masih diperlukan penelitian untuk menghasilkan obat yang teruji mutu, keamanan, dan khasiatnya agar bisa dikembangkan sebagai obat fitofarmaka dan dimanfaatkan dalam pengobatan formal penyakit demam berdarah.

Terdapat lima jenis tanaman obat yang biasa digunakan masyarakat untuk mengatasi penyakit demam berdarah, yaitu pepaya gandul, kunyit, temu ireng, meniran, dan jambu biji. Tanaman tersebut diramu sedemikian rupa, baik dalam bentuk simplisia kering, serbuk maupun sirup.

Lima jenis tanaman tersebut sudah digunakan secara empiris sebagai obat tradisional, diketahui nama latin dan sistematikanya sehingga tidak salah dalam memilih jenis tanaman, diketahui kandungan zat berkhasiat dan golongan senyawa atau zat identitasnya, dan tanaman diproses sesuai dengan metode standar.

1. Pepaya (Carica papaya)

Untuk ramuan DBD, digunakan daun pepaya jantan (pepaya gandul). Daun pepaya mengandung berbagai enzim seperti papain, karpain, pseudokarpain, nikotin, kontinin, miosmin, dan glikosida karposid.

Manfaat empiris daun pepaya gandul adalah getah daun muda untuk obat pencahar, daunnya merangsang sekresi empedu serta sebagai obat sakit perut, demam malaria, dan penyakit cacing serta membantu proses pencernaan.

Daun pepaya sudah digunakan sebagai bahan ramuan obat di 23 negara dan mendapat prioritas sebagai tanaman obat utama menurut WHO.

Hasil penelitian mengenai khasiat daun pepaya menunjukkan bahwa papain pada daun pepaya memiliki efek terapi pada penderita inflamasi atau pembengkakan organ hati, mata, kelamin, dan usus halus. Pembengkakan organ hati ditemukan pada penderita demam berdarah. Di samping itu, daun pepaya juga memiliki aktivitas anti oksidan, anti koagulan, serta menyembuhkan luka lambung dan usus.

2. Meniran (Phyllanthus niruri)

Meniran memiliki khasiat sebagai obat anti virus. Senyawa yang ditemukan pada meniran antara lain adalah triterpenoid, flavoniod, tanin, alkaloid, dan asam fenolat.

Secara empiris, rebusan daun meniran sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit hati, sebagai diuretik untuk hati dan ginjal, kolik, penyakit kelamin, obat batuk, ekspektoran, antidiare, seriawan / panas dalam, dan sebagai tonik lambung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran berfungsi menghambat DNA polimerase dari virus hepatitis B dan virus hepatitis sejenisnya, menghambat enzim reverse transcriptase dari retrovirus, sebagai anti bakteri, anti fungi, anti diare, dan penyakit gastrointestinal lainnya. Meniran juga memiliki fungsi meningkatkan ketahanan tubuh penderita dengan cara memacu fagositosis sel makrofag, fungsi proliferatif limfosit T, antibodi IgM dan IgG, aktivitas hemolitik, sitotoksisitas sel NK, dan khemotaksis neutrofil dan makrofag.

3. Kunyit (Curcuma domestica)

Kunyit telah lama dimanfaatkan dalam ramuan obat tradisional untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit, seperti stomakik, stimulan, karminatif, haematik, hepato-protektor, mengobati luka lambung dan ulser, sebagai pewarna makanan, bumbu, anti spasmodik, anti imflamasi, gangguan pencernaan, dan sebagai insektisida, bahan kosmetik, dan anti oksidan.

Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri (turmeron, zingiberene) dan zat berkhasiat dari golongan kurkuminoid (kurkumin I, II, dan III).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kunyit memiliki aktivitas sebagai anti mikroba (berspektrum luas), antivirus HIV, anti oksidan, anti tumor (menginduksi apostosis), menghambat perkembangan sel tumor payudara, anti invasi sel kanker, anti reumatoid artritis (rheumatik), dan untuk mengobati penyakit pencernaan (tukak lambung).

4. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa)

Temu ireng telah banyak dimanfaatkan secara empiris untuk mengobati sel-sel hati yang rusak. Pada penderita demam berdarah, terjadi kerusakan sel-sel hati.

Secara empiris temu ireng juga bermanfaat untuk mengobati kolik, luka lambung dan usus, asma, batuk, menambah nafsu makan, memper cepat pengeluaran lokhia setelah melahirkan, mencegah obesitas, rematik, anthelmintik, dan sebagai sumber tepung.

Temu ireng mengandung minyak atsiri (turmeron, zingiberene), kurkuminoid (kurkumin I, II, dan III) serta alkaloid, saponin, pati, damar, dan lemak.

5. Jambu Biji (Psidium guajava)

Daun jambu biji sudah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Secara empiris, daun jambu biji bersifat anti biotik dan telah dimanfaatkan untuk anti diare, sedangkan buahnya untuk obat pencahar, tanin mempersempit urat darah.

Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri, minyak lemak, dan minyak malat, sedangkan buahnya mengandung vitamin C yang tinggi.

Hasil penelitian yang dikutip dari berbagai sumber menunjukkan daun jambu biji terbukti dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dari virus dengue, tanin menghambat enzim reverse transcriptase maupun DNA polymerase dari virus serta menghambat pertumbuhan virus yang berinti DNA maupun RNA.

Hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kering daun jambu biji selama 5 hari mempercepat pencapaian jumlah trombosit >100.000/µl, pemberian ekstrak kering setiap 4-6 jam meningkatkan jumlah trombosit >100.000/µl setelah 12-14 jam, tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Dengan demikian, ekstrak daun jambu biji dapat digunakan untuk pengobatan kuratif demam berdarah.

Sumber :
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Deptan

ASKEP SINDROM NEFROTIK

KONSEP DASAR

1. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).

2. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
1. Malaria kuartana atau parasit lain.
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

2. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
5. Lipid uria.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.

4. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

5. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
1. Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
2. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
8. Penatalaksanan
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
• Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
• Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
1. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
2. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
3. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
4. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.


II. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
 Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
 Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.

2. Prioritas Diagnosa Keperawatan
• Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
• Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
• Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
• Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
• Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
• Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
• Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
• Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.

3. Perencanaan Keperawatan
Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
• Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
• Observasi perubahan edema
• Batasi intake garam
• Ukur lingkar perut
• timbang berat badan setiap hari
Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
1. auskultasi bidang paru
2. pantau adanya gangguan bunyi nafas
3. berikan posisi semi fowler
4. observasi tanda-tanda vital
5. kolaborasi pemberian obat diuretik

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
1. tanyakan makanan kesukaan pasien
2. anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
3. pantau adanya mual dan muntah
4. bantu pasien untuk makan
5. berikan makanan sedikit tapi sering
6. berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).
Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
1. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
2. pantau adanya tanda-tanda infeksi
3. lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
4. anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
5. kolaborasi pemberian antibiotik

Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
1. pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
2. rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
3. anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
4. berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
1. inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
2. berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
3. ubah posisi tidur setiap 4 jam
4. gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
7. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
2. dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
3. berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
8. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
1. observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
2. identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
3. berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Jumat, 12 November 2010

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERSYARAFAN

PENGKAJIAN FISIK DAN TEST DIAGNOSTIK


Tingkat kesadaran :
1. Alert : Composmentis / kesadaran penuh
Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.

2. Lethargic : Kesadaran
• Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara.
• Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat.
• Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.

3. Obtuned
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.
4. Stuporus
• Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.
• Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus.

Glasgow Coma Scale (GCS)
Score : 3 – 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja
11 : moderate disability
15 : composmentis

Adapun scoring tersebut adalah :
RESPON SCORING

Respon membuka mata ( E = Eye )
Spontan ( 4 )
Dengan perintah ( 3 )
Dengan nyeri ( 2 )
Tidak berespon ( 1 )

Respon Verbal ( V= Verbal )
Berorientasi (5)
Bicara membingungkan (4)
Kata-kata tidak tepat (3)
Suara tidak dapat dimengerti (2)
Tidak ada respons (1)

Respon Motorik (M= Motorik )
Dengan perintah (6)
Melokalisasi nyeri (5)
Menarik area yang nyeri (4)
Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi (3)
Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)
Tidak berespon (1)

Saraf kranial :
1. Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman
• Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
• Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.

2. Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
• Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya.
• Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.

3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
• Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.
• Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
• Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.

4. Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah.
• Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
• Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.

5. Test nervus VII (Facialis)
• Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.
• Otonom, lakrimasi dan salivasi
• Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya







6. Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :
• Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
• Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.

7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
• N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
• N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
 Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan tertarik keatas.
 Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.

8. Test nervus XI (Accessorius)
• Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.
• Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test otot trapezius.
9. Nervus XII (Hypoglosus)
• Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
• Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
• Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

FUNGSI SENSORIK
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
6. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
7. Pen / pensil, untuk graphesthesia.
SISTEM MOTORIK
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
3. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

AKTIFITAS REFLEKS
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = normal ( ++ )
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )
4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

2. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

3. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

4. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

5. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.

PEMERIKSAAN KHUSUS SISTEM PERSARAFAN

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada —- kaku kuduk positif (+).

2. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.

4. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

5. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates